Setiap warga negara Indonesia berhak
mendapatkan pendidikan. Hal tersebut tertuang dalam pasal 31 ayat (1)
undang-undang dasar 1945.Tidak memandang status sosial, ekonomi, ras, suku,
agama, bahkan kekurangan dalam bentuk fisik maupun mental yang mungkin saja di
miliki oleh warga negara. Mendapatkan pendidikan dasar yang merata sudah
menjadi hak setiap warga, dan sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk
memberikannya. Tidak terkecuali untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Baik cacat
fisik maupun cacat mental. Seperti yang terjadi di kota Mojokerto. Bahwa
pemerintah terus berupaya memberikan pelayanan pendidikan bagi seluruh warganya
tanpa pandang bulu. Hal tersebut terlihat dari beberapa program pemerintah yang
pro terhadap warga ekonomi rendah, yaitu sekolah gratis, seragam sekolah gratis
sampai angkutan sekolah gratis. Tidak hanya itu pemerintah kota juga memberikan
perhatiannya terhadap warganya yang difabel dengan adanya sekolah inklusif
serta menciptakan lowongan kerja bagi warga difabel. Keberadaan sekolah bagi
anak-anak berkebutuhan khusus di kota Mojokerto sendiri sangat
membantu dalam mewujudkan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang sama
dengan anak-anakreguler. Sekolah luar biasa pertiwi adalah salah satu sekolah
luar biasa yang ada di kota Mojokerto.
Terbagi menjadi 2 yaitu
SLB-B untuk anak dengan tuna rungu serta SLB C dan D untukanak tuna grahita dan
tuna daksa. Kepala sekolah SLB –B pertiwi Gatot Subijanto yang sudah
memimpin selama 35 tahun merasakan betul bagaimana kondisi anak-anak
berkebutuhan khusus terutama keberadaan sekolah SLB di kota Mojokerto.” Untuk
sekolah luar biasa ini berada di bawah pemerintah provinsi, jadi pemerintah
kota tidak dapat memberikan bantuannya, meskipun sebenarnya kita membutuhkan”
tutur gatot. “Jumlah murid di SLB-B sendiri adalah 57 murid, untuk jumlah
gurunya 15” lanjutnya. Gatot mengatakan bahwa keberadaan guru dan
murid dikatakannya kurang seimbang. “ ada guru yang merangkap, seperti guru
kelas yang juga mengajar keterampilan. Untuk smp-sma juga harusnya kan guru
mata pelajaran, namun kita disini menggunakan guru kelas” jelas Gatot. Gatot
juga menjelaskan bahwa kurikulum untuk sekolah luar biasa ada tersendiri. Dalam
teknik pengajaran, gatot menerangkan bahwa guru-guru terus berinovasi agar para
siswa mudah menangkap apa yang disampaikan. “jadi kita di sini juga membiasakan
anak-anak menggunakan komunikasi verbal, agar bisa bersosialisasi dengan
masyarakat umum” tutur Gatot. “ anak-anak kita tuntun untuk bisa menyesuaikan
diri dengan masyarakat” lanjutnya. Di ambil dari beberapa sumber pada setiap
ketunaan memiliki kurikulum masing-masing yang sudah ditetapkan
serta memiliki metode pengajaran yang berbeda-beda. Misalnya untuk SLB-A yang
menangani tuna netra, strategi pengajaran yang diberikan yaitu dengan
memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi anak dan pemanfaatan secara
optimal indera-indera yang masih berfungsi untuk bisa mengimbangi kelemahan.
Sementara itu SLB-B yang menangani tuna rungu kurikulum yang digunakan yiatu
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dengan bobot yang disesuaikan dengan
ketunaannya. Sedang untuk SLB C/C1 untuk tuna grahita yang harus diberikan
pembelajaran secara kontinue dan konsisten serta insentif, selain itu
diperlukan peran katif guru, siswa, sarana dan prasarana yang menunjang
kegiatan anak. Sedangkan untuk SLB-D untuk tuna daksa yang mana mereka memiliki
cacat fisik, namun memiliki kecerdasan yang sama dengan anak normal dalam
metode pembelajaran yang diberikan dengan metode ceramah, diskusi berkelompok
dan praktek. “saya berharap dengan pendidkian yang sudah merata ini, anak-anak
didik di SLB juga mendapat perlakuan yang sama serta ada pembelajaran
ketrampilan khusus atau pekerjaan untuk mereka dikemudian hari. Mereka
anak-anak yang istimewah” harap Gatot. (TTS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar